Minggu, 19 Juni 2011

Menjemput Fajar


Assalamu Alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh..



kali ini saya akan menceritakan tentang sepasang suami isteri pekerja keras yang hidup serba kekurangan namun memiliki impian yang sangat luar biasa. Saking luar biasanya impian itu sehingga hati merekapun menolak untuk hanya sekedar menampung mimpi yang memang jika dilihat dari keseharian mereka, sangat-sangat tidak mungkin untuk mereka wujudkan...


Sang suami sebutlah Fulan (bukan nama sebetulnya-red) tinggal di sebuah desa yang kebanyakan masyarakatnya bekerja sebagai petani (sawah ataupun tambak) membuatnya tak memiliki pilihan pekerjaan lain selain bertani. Dengan bermodalkan sepetak sawah kecil serta dua petak tambak warisan orang tua, sedikit memudahkannya dalam memberi nafkah untuk keluarganya. Di karuniai enam orang anak tidak membuatnya merasa terbebani, karena menurutnya banyak anak banyak rejeki. 



Jarum jam menunjukkan pukul 02:00, Fajar belum juga menyingsing, udara yang sangat dingin dan kadang disertai guyuran hujan lebat pada musimnya, orang-orang masih terlelap dalam mimpi indahnya, tapi tidak bagi si Fulan. Dia harus bergegas menuju lokasi tambak karena takut air pasang menggenangi harta berharganya itu. Dengan mengendarai sebuah perahu kecil dia menyusuri sungai, sesekali dia menoleh ke kiri dan ke kanan untuk melihat keadaan air ataupun mungkin berharap dapat melihat sesuatu yang dapat di bawanya pulang sebagai oleh-oleh untuk keluarganya.


Bercerita tentang perahu, dia punya cerita lucu yang selalu diceritakannya kepada sahabat dan para kerabatnya. Pada suatu ketika, seperti biasa dia mendayung perahunya menuju tambak, karena sangat mengantuk, dia tidak sadar kalo dia sudah tertidur pulas di atas perahunya. Ketika tersadar dia begitu kaget dan ketakutan karena dia merasa seakan di tengah hutan belantara, seketika itu juga dia berteriak meminta tolong. Dan betapa malunya dia ketika mengetahui bahwa perahunya hanya tertambat diantara rerimbunan pohon bakau (mangrove) yang biasa dijadikan pelindung untuk tambak dari ombak. Sambil melirik kanan kiri, dan berharap tidak ada orang lain yang mendengar teriakannya, dia kembali mendayung perahunya menuju lokasi tambak... hehehehehehe


Sesampai di tambak, diapun mengganti pakaiannya kemudian berkeliling melihat-lihat kondisi peliharaannya. Jika dia dapati ada yang mati, dia memungutnya untuk dijadikan santapan istimewa bagi keluarganya. Tak jarang dia harus turun ke dalam tambak untuk menggemburkan tanah agar makanan-makanan ikan dan udang mengapung dan mudah didapatkan oleh ikan dan udang. (Subhanallah... dingin tuh pak).



Setelah sekian lama bermain bersama ikan-ikan dan udang, terdengar suara dari menara-menara masjid yang sedang bersiap-siap mengumandangkan azan subuh. Diapun keluar dari dalam tambak dan membersihkan lumpur yang melekat di badannya. (mandi-red). Kembali dengan mengendarai perahu buntut diapun menuju ke masjid yang tidak jauh dari rumahnya. Sebelum ke masjid, dia singgah terlebih dahulu di rumahnya untuk mengantarkan hasil tangkapannya (ikan mati yang dipungutnya dari tambak-red). Dan tidak lupa ssstt...sssttt..sssttt.. minyak wangi disemprotkan ke seluruh tubuhnya agar bau lumpur di tubuhnya tidak mengganggu jamaah yang lain. Setelah melaksanakan kewajibannya (sholat-red) tibalah saat yang dinanti-nanti, bercengkeramah dengan keluarga sambil menikmati sarapan istimewa yang masih hangat.



Sehabis menikmati sarapan, dia meminta anaknya untuk memeriksa jebakan ikan yang di taruhnya di sawah belakang rumahnya. “Alhamdulillah ada lima ekor ikan gabus pak” teriak anaknya. “ya sudah... tangkap dan jual ke pasar” jawabnya. Dengan penuh semangat anak keempatnya yang ketika itu masih berusia antara 10-11 tahun menangkap ikan gabus itu, mengikat dan segera membawanya ke pasar. Tanpa menunggu lama ikan tersebut laku terjual kepada para pengepul, anak itu kembali mengayuh sepedanya dengan cepat kembali ke rumah dan menyerahkan hasil penjualan kepada ibunya (istri si fulan-red). “Dapat brapa nak?” tanya ibunya. “Alhamdulillah dapat 3000 perak bu...” jawab anak itu, “ambil 100 perak untuk jajanmu di sekolah dan berikan 100 lagi untuk kakakmu” jawab sang ibu. Dalam pikiran sang ibu, “Alhamdulillah, hari ini bisa nabung 2800 perak untuk persiapan ketika dibutuhkan”

Ya.. anak mereka yang pertama dan kedua sedang menempuh pendidikan di sebuah perguruan tinggi Islam Negeri di kotanya sehingga mereka harus menabung untuk memenuhi kebutuhan kuliah dan hidup kedua anaknya itu. (kisah kedua anaknya akan masuk dalam cerita yang lain. hehehehehehe)



Waktu sarapan dan istirahat telah usai, si Fulan kembali melanjutkan aktivitasnya. Kali ini dia tidak ke tambak, tapi ke sawah guna memeriksa keadaan tanaman padi yang telah ditanamnya. Dengan peralatan parang dan sabit dia menebas seluruh rumput serta tanaman penggangu lainnya yang ada disekitar pematang sawahnya... (mungkin dalam pikirannya mumpung pagi, jadi sekalian olah raga.. :D). Setelah merasa sudah bersih, diapun masuk menjelajahi tiap baris pohon padinya guna memastikan tidak ada hama yang hinggap dan mengganggu tanaman yang bakal menjadi penghasilan terbesarnya itu. Si Fulan memang terkenal giat dan teliti dalam bekerja, hal inilah yang membuat beberapa teman dan kerabat menginginkan jasanya untuk mengerjakan sawah mereka dengan imbalan bagi hasil. Beberapa ia terima, tp tidak sedikit yang ditolaknya dengan alasan tidak mampu mengerjakan seluruhnya.



Panas matahari sudah terasa menyengat di tubuh, keringatnya bercucuran, rasa haus mungkin telah mengganggu tenggorokannya, sesekali ia menegur petani lain yang melewati pematang sawahnya untuk pulang. Dan akhirnya diapun ikut pulang karena memang pekerjaannya hari ini telah selesai. Ia berjalan tertunduk melintasi pematang-pematang sawah, mungkin dia lelah, mungkin dia menangis, atau mungkin dia berdo’a, hanya dia dan Allah yang mengetahuinya yang pasti raut muka lesu yang tetap tertunduk tampak jelas terlihat diwajahnya.



Seperti itulah keseharian si Fulan. waktunya hanya untuk ibadah, bekerja dan bekerja. tak ada banyak waktu untuk istirahat ataupun bercengkerama dengan keluarganya. Itu dilakukannya demi menggapai mimpi sederhana yang ada dalam angan-angannya, dia hanya ingin agar anak-anaknya dapat mengenyam pendidikan agar tidak bodoh seperti dirinya.. dia tidak menargetkan yang muluk-muluk, satu kalimat yang masih saya ingat dan tak akan saya lupakan “lanjutkan pendidikanmu hingga batas dimana saya tidak mampu lagi untuk bekerja”...

Lain waktu kita lanjutkkan lagi cerita ini..



Terima kasihku yang tak terhingga kupersembahkan untuk kedua orang tuaku yang telah bersusah payah mendidikku hingga saya bisa seperti sekarang. Saya mungkin tidak memiliki sesuatu untuk bisa saya sombongkan, tapi saya memiliki orang tua yang bisa saya banggakan. Sekali lagi Terima kasih Ayah, Terima kasih Ibu...




  

10 komentar:

  1. kisah yang menggugah..kasih orang tua tak pernah pudar tuk anak2 nya..smoga kita bisa membahagiakan orang tua kita...

    BalasHapus
  2. yups.. kebahagiaan kita adalah mimpi mereka.. wujudkanlah..!!! :)

    BalasHapus
  3. Seorang ayah yang hebat,,,selamanya akan menjadi motivasi untuk anak - anaknya... anak yang tahu balas budi akan menghargai setiap tetesan keringat ayahnya... salam sama keluarganya.. sampaikan rasa salutku pada mereka ^_^

    BalasHapus
  4. Yah.. kadang mereka keras terhadap kita, tp ternyata mereka memiliki tujuan yang tersembunyi.. makasih Latifah.. :)

    BalasHapus
  5. "Saya mungkin tidak memiliki sesuatu untuk bisa saya sombongkan, tapi saya memiliki orang tua yang bisa saya banggakan"

    nice Quote...

    Dan sesungguhnya mendurhakai kedua orang tua akan memadamkan cahaya hati

    BalasHapus
  6. @Kang Insan.. makasih kang.. mereka adalah hartaku paling berharga..:)

    BalasHapus
  7. Saya mungkin tidak memiliki sesuatu untuk bisa saya sombongkan, tapi saya memiliki orang tua yang bisa saya banggakan.. kepincut sama kata2 ini. ini tu keren kak :)
    salam buat ibu sama bapak ;)

    BalasHapus
  8. De' Irma.. hehehe.. makasih.. tp itulah yang saya rasakan dan saya miliki saat ini.. Makasih juga salamnya.. :)

    BalasHapus
  9. bagus banget..emang cuma orang tua yang bisa bener2 berkorban tulus untuk kita...

    #jadi pengen pulang.. T_T

    BalasHapus
    Balasan
    1. apanya yang bagus mbak..?? kemiskinannya..?? hehehehe
      yah... kita pasti selalu merindukan kebersamaan dengan mereka.. :)

      Hapus

Silahkan memberi komentar